Anak itu mendekap
tubuhnya yang ringkih. Terlihat raut wajahnya, gigil menahan hempasan dingin
yang membakar. Di tangannya, dalam bungkusan plastik kecil hitam, ia
menggenggam uang tiga ribu perak. Sesiang ini, hanya satu orang yang menggunakan
jasanya. Sewa payung.
Hujan masih terus
mengguyur. Di sudut peron ia berdiri gelisah. Bukan! Bukan karena rezeki di
hari itu terasa seret. Tetapi, jauh dalam pikirannya, ia gundah. Resah terus
bergelayut dalam benaknya.
"Dik! Payung,
Dik!" Tanpa disangka seorang ibu muda memanggilnya. Tergesa ia
menghampirinya. Ibu muda itu ingin menyeberang, dan menaiki taxi di seberang
stasiun.
"Berapa,
Dik?"
"Dua
ribu," jawabnya sambil mengacungkan dua jari tangan kanannya. Ibu itu
menyerahkan uang lima puluhan ribu. Ia terperanjat.
"Tidak ada
kembaliannya, Bu!" Ia berkata sambil menelan ludah. Kerongkongannya terasa
kering, di antara gerimis yang terus merinai.
"Ambil saja.
Gak usah dikembaliin," jawab ibu itu sambil tersenyum. Cantiknya
menghilang setelah pintu taxi rapat tertutup.
Tanpa sengaja air
matanya meleleh. Tidak ada yang tahu, karena gerimis masih menghempas saat itu.
Ia pun berbenah. Disaksikan kursi-kursi yang diam di peron. Tiang besar atap
stasiun yang juga terlihat kuyup. Lelah, berselimut dingin di siang menjelang
sore itu.
Sejak pagi ia
belum makan. Tapi ia tidak merasa lapar. Tepatnya, ia sanggup menahan lapar.
Bukan hanya sehari. Tapi juga bisa lebih dari itu. Tubuhnya, semakin terlihat
kurus. Tapi ia tetap lincah di antara derai dan gerimis hujan.
***
"Assalamu'alaikum.
Ibu, Adi pulang," suaranya lantang. Ada semacam daya dalam ungkapan
katanya.
"Wa'alaikum
salam. Tumben siang-siang udah datang?" Parau suara ibu terdengar di balik
pintu rumahnya. Bukan rumah ding! Tapi gubuk.
"Ya, Bu. Adi
bawa obat untuk ibu. Juga membeli nasi bungkus. Ada ayam goreng kesukaan
Fani."
Fani yang masih
berumur lima tahun itu mengambil handuk untuk kakaknya. Ia pun menyiapkan air
panas untuk sang kakak. Selepas mandi, Adi menceritakan kisahnya di hari itu.
Bahwa dari pagi hingga menjelang siang, baru mendapatkan satu pelanggan. Bahwa
setelah itu, ada ibu muda yang menggunakan jasanya. Bahwa, ibu muda itu
memberikan uang lima puluh ribu dan tidak minta kembalian.
"Alhamdulillah,"
ibu yang sudah agak sehat itu mengucap syukur. Selama dua hari lamanya ia tidak
bisa bekerja. Maka, anaknya, Adi, yang masih duduk di kelas lima itulah yang
pontang panting mencari kehidupan.
"Besok, Insya
Allah, ibu sudah bisa bekerja. Mari kita nikmati dan kita syukuri rezeki Allah
hari ini." Nasihat ibu sambil membuka bungkus nasi hasil kerja anaknya.
Adi dan Fina pun makan bersama-sama di sore itu. Gerimis masih terus
menghempas. Payung Adi menggantung di balik pintu gubuknya. Hujan masih terus
menyanyi.
***
Ah, anak itu
membuat aku rindu. Ya, rindu akan celoteh manja seorang anak. Sekian lamanya
aku berumah tangga, namun si buah hati belum kunjung ada. Terkadang, gerimis
air mata bercucuran di saat malam melanglang.
"Sudahlah
Rifka, Tuhan masih belum berkenan," begitulah suamiku selalu membujukku.
Untunglah aku punya suami yang sabar. Mengayomi, sekaligus mencintaiku apa
adanya.
Hujan mulai reda.
Dari dalam taksi
aku melihat gumpalan awan putih. Tetapi gerimis sudah pergi. Mentari masih
tertunduk malu di balik sisa awan hujan seharian. Tiba-tiba air mataku
menderas. Entahlah!
Beberapa menit
kemudian aku sudah sampai di depan rumahku. Ya, rumah yang terbilang mewah.
Rumah yang selalu kurindu. Karena pada setiap senja, suamiku datang untuk
sebuah cinta yang tulus. Tetapi, masih ada yang kurang. Ya, di rumah besar itu
tidak terdengar tangisan anakku.
***
"Ibu,....Adi
pulang!" Dari jauh Adi sudah memanggil-ibunya. Ia ingin memperlihatkan
nilai rapotnya akhir tahun ini. Ya, Adi masih terus sekolah. Ia pantang
menyerah. Ditinggal bapaknya, memang kehidupan Adi berubah. Ia yang sekarang
menjadi tumpuan ibu dan adiknya.
"Ada apa,
Nak. Kok teriak-teriak dari jauh," jawab ibu saat Adi sudah berada di
dekat ibunya.
"Adi dapat
juara lagi, Bu. Nih lihat, nilai Adi bagus semua," jelas Adi begitu
sumbringah. Terlihat dari sinar matanya yang memancar.
"Syukurlah,
Anakku!" Jawab ibu parau. Terharu dengan prestasi anak lelakinya ini.
"Andai bapakmu masih hidup," pikir ibu sambil menengadah. Tak kuasa
air matanya meruah oleh keadaan yang tidak ingin ia jalani. Tetapi nasib telah
menyeret mereka ke dalam penderitaan hidup.
***
Selepas dari
sekolah.
Adi bersiap menuju
stasiun. Hari begitu gelap. Tumpahan curah hujan mulai meruah satu demi satu.
"Bismillah,"
langkah Adi menyusuri jalanan becek. Menuju stasiun. "Semoga banyak rejeki
hari ini," doanya dalam hati. Adi berjalan kaki menyusuri jalan raya yang
tidak begitu ramai. Mungkin karena hari hujan. Hanya sesekali motor dan mobil
melintas. Derunya ditingkahi gemuruh hujan yang semakin menderas. Di tangannya,
dua payung hitam ia genggam.
Sesaat sebelum
menyebrang ke arah stasiun, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya. Adi
heran. Ia tidak punya keluarga kaya. Tepatnya, ia tidak tahu. Ibunya tidak
pernah menceritakan siapa-siapa. Kecuali bapaknya, yang selalu dibanggakan oleh
ibunya.
Pintu mobil itu
terbuka. Pas di depan matanya. Adi semakin bingung. Seorang ibu muda, tersenyum
ke arahnya.
"Masuklah,
Nak!" Ibu muda itu berkata lembut. Tapi Adi bingung. Bahkan mulai timbul kecurigaan.
"Maaf, Bu.
Saya harus bekerja," jawab Adi apa adanya. Herannya, Adi tidak kuasa
menolak, melihat ibu itu berlinang air mata. Adi semakin bingung, dan menuruti
keinginannya.
***
Kupandangi anak
itu dengan saksama. Aku merasa ada darahku yang turut mengalir di nadinya. Aku
tidak tahu, mengapa hal ini bisa terjadi. Aku melihat kecerdasan pada sinar
matanya. Dan itu pulalah yang membuat aku semakin terharu. Aku ingin
mendekapnya, bagai anakku sendiri. Tetapi, apakah anak ini suka? Tuhan,
pengaruh anak begitu menghunjam nuraniku.
"Makanlah,
Nak," kataku bergetar, haru tiba-tiba kembali menyeruak. Adi hanya
mengangguk, kemudian.berpaling kepada bapak di sebelahnya. Bapak itu pun
tersenyum. Terasa tulus di sudut hati Adi.
"Makanlah, di
luar masih hujan," jawab bapak itu tak kalah lembut. Adi semakin salah
tingkah. Seakan hari ini ia bersua dengan dua malaikat. Ia pun teringat dengan
ibu dan adiknya.
"Tapi,...."
Kata Adi tidak melanjutkan.
"Tapi apa?
Katakanlah pada ibu." Adi kelihatan ragu. Tapi kemudian ia mengatakannya.
"Saya
teringat ibu dan adik di rumah," Adi terlihat menarik napas.
"Oh, itu.
Tidak usah kwatir. Nanti adik dan ibumu, kamu bawakan makanan dari sini."
Adi pun tidak
ragu. Ia makan dengan lahapnya. Dari pagi, ia memang belum makan. Hanya
beberapa jajanan kering saat ia di sekolah.
Aku kembali
memperhatikan anak di depanku. Aku tidak berselera makan. Kulihat suamiku juga
demikian. Kami terbiasa makan di rumah.
Kembali terngiang
celoteh anakku yang tak kunjung datang. Maka, Adi yang sekarang ada di depanku
telah menjelma buah hatiku. Meski sampai detik ini, aku tidak tahu siapa dia
sebenarnya. Tetapi benang kasih itu telah berurai di setiap tarikan napas Adi.
Kini aku semakin
paham, kalau ternyata Adi tinggal bersama adik dan ibunya. Dari cerita Adi, bapaknya
telah tiada. Maka, Adi kecil harus mencari uang sendiri. Dengan cara apa saja,
yang penting halal. Juga dengan menyewakan payung di musim penghujan.
Hujan di luar
restoran mulai reda. Tinggal titik-titik gerimis yang semakin lesap. Adi pun
pamit pulang. Karena hari sebentar lagi akan malam. Aku hanya mengangguk, saat
Adi ijin pulang. Kuselipkan uang dua ratus ribu di saku bajunya. Kulihat Adi
terkejut. Tidak percaya. Tapi, bagiku uang itu tidak seberapa.
Aku lihat Adi
berjalan riang. Di antara gerimis yang masih mengundang. Aku dan suamiku saling
pandang.
"Bagaiman
kalau kita antarkan saja anak itu?" Usul suamiku. Tidak menunggu lama, aku
pun mengiyakan.
Tidak berapa lama,
karena memang rumah Adi tidak jauh dari tempat itu, akhirnya kami pun sampai.
Hujan tak lagi bernyanyi. Benar-benar senja yang indah.
"Ibu,...."
Adi berteriak memanggil ibunya sebelum turun dari mobil. Dan seseorang separuh
usia beserta seorang putrinya, terpaku heran di ambang pintu. Aku pun turun.
Mendekati seseorang yang tidak mungkin aku lupa. Aku pun menghambur, menangis,
memeluk embakku sendiri.
"Embaaaa....k,"
***
Sumenep, 28092014
No comments:
Post a Comment