DIALOG MUSLIM – KRISTEN
Kategori
Oleh: Ardiannur Ar
Roya, Penggiat Diskusi di CIIA (The Community Of Ideological
Islamic Analyst)
Kebenaran
Natal
Kata Christmas (Natal) yang
diartikan sebagai Mass of Christ atau disingkat dengan Christ-Mass
adalah sebuah hari dimana dirayakan kelahiran dari “Yesus”. Biasanya
rutin dilaksanakan setiap tanggal 25 Desember pada tiap tahunnya. Berbagai aktivitas
pun dilakukan untuk memperingati hari ini seperti doa bersama, pesta, pohon
natal, dan sejenisnya. Perayaan yang dilakukan oleh orang-orang kristen bahkan
orang-orang non-kristen ini berasal dari ajaran Gereja Kristen Katolik Roma.
Pada dasarnya perintah untuk
menyelenggarakan Natal tidak pernah ada dalam Bibel. Perayaan Natal baru masuk
dalam ajaran Kristen Katolik pada abad ke-4 M. Dan peringatan inipun sebenarnya
merupakan hasil dari proses Sinkretisme (Penggabungan dua agama) antara Kristen
Katolik dan juga budaya Paganis Politheisme Imperium Romawi pada saat itu.
Ketika Kaisar Konstantin menjadi penganut Kristen Katolik, ia tetap tidak mampu
meninggalkan adat atau kepercayaannya terhadap budaya pagannya, apalagi
terhadap pesta rakyat untuk memperingati hari kelahiran Dewa Matahari pada
tanggal 25 Desember.
Karena itulah agar agama Katolik
bisa diterima dan masuk ke tengah-tengah masyarakat Romawi maka dilakukanlah
proses Sinkretisme tadi yakni dengan cara menyatukan perayaan kelahiran dari
Sun of God (Dewa Matahari) dengan kelahirannya Son of God (Yesus). Kemudian
pada konsili tahun 325, Kaisar Konstantin memutuskan untuk menetapkan bahwa
tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran dari Yesus. Sesudah Kaisar
Konstantin memeluk agama Katolik dan melakukan penyatuan kedua agama melalui
proses Sinkretisme tadi, maka rakyat pun beramai-ramai memeluk agama Katolik.
Bisa dikatakan ini adalah sebuah prestasi gemilang dari hasil proses
Sinkretisme oleh Kaisar Konstantin dengan agama Paganisme Politheisme nenek
moyang mereka. Pada akhirnya semenjak tahun 1100, Natal telah menjadi perayaan
keagamaan terpenting di banyak negara-negara Eropa.
Budaya Latah dan Konyol ?
Sudah
menjadi kebiasaan kalau tidak dikatakan budaya yang mengakar dan menyebar di
rakyat Indonesia bahwa pesta atau perayaan terhadap satu momen itu sangatlah
penting. Tidak hanya sampai di situ, rakyat Indonesia juga sangat terbiasa
bahkan terbudayakan untuk memperingati berbagai hari-hari perayaan walau itu
berasal dari asing.
Misalkan saja ketika kita masuk di
pertengahan bulan Desember yakni minggu-minggu jelang 25 Desember, hari
perayaan Natal. Kita bisa merasakan atmosfir yang terbentuk di sekitar kita
ditujukan untuk memperingati dan menyambut datangnya perayaan Natal. Di
jalan-jalan penuh dengan iklan ucapan selamat Natal, pergi ke pusat
perbelanjaan maka kita disuguhi dengan suasana menyambut Natal mulai dari para
karyawannya yang berpakaian seperti Santa Klaus, lagu-lagu rohani Kristen,
dekorasi pohon Natal yang dihiasi dengan hiasan sedemikian rupa, dan lainnya.
Bahkan media pun tidak lupa untuk mem-blow up akan perayaan Natal ini
sedemikian rupa, disuguhi lah masyarakat Indonesia dengan film-film bernuansa
Kristen dan Paganisme Politheisme.
Kemudian ketika di akhir tahun,
jelang tanggal 1 Januari. Kita mendengar bagaimana ramainya orang membicarakan
apa yang ingin ia lakukan ketika tahun baru nanti, berpesta-pora menyambut
tahun baru. Tahun baru memang dikatakan sebagai sebuah hari suci bagi umat
Kristen di seluruh penjuru dunia, setiap tahun baru banyak orang di seluruh
penjuru dunia keluar dari rumahnya kemudian meniupkan terompet, menyalakan
kembang api, berpesta pora, dan mengucapkan “Happy New Year”.
Hakikatnya, budaya ini telah lama dirayakan oleh orang-orang Yahudi jauh
sebelum umat Kristiani merayakannya. Dan sekali lagi, di akhir tahun Indonesia
benar-benar menjadi sebuah negeri yang mayoritas muslim mendadak menjadi
sangat kental ke-yahudi-annya.
Inilah fakta yang memprihatinkan
dari sebuah bangsa yang ultra-latah. Bangsa yang ultra-latah ini akan sangat
mengagungkan kebudayaan-kebudayaan dari asing di luar sana yang dianggapnya
sebagai negeri maju dan berjaya, maka kemudian begitu mudahnya larut dengan
budaya Natal, tahun baru, valentine, April mob, dan lainnya ke negeri kita.
Hingga negeri ini memang pantas dikatakan sebagai sebuah negeri yang terjajah,
mungkin tidak dijajah secara fisik namun tentu dijajah secara pemikiran.
Benarlah jika dikatakan bahwa negeri yang terjajah akan mengikuti apapun yang
dilakukan oleh negeri yang menjajahnya, termasuk kebudayaannya.
Mari kita pikirkan, apa hubungannya
dengan mencontoh perayaan natal di bulan Desember, tahun baru di awal tahun
pada bulan Januari, hari kasih sayang atau dikenal dengan hari Valentine pada pertengahan
bulan Februari, april mob pada awal april, dan seterusnya dengan kemajuan yang
mungkin bisa diperoleh oleh negeri yang mencontoh perayaan hari-hari tersebut?
Tentu sama sekali tidak ada hubungannya. Lalu mengapa tetap dilakukan oleh
rakyat Indonesia? Ya, inilah budaya ultra-latah dari masyarakat
Indonesia, sebuah budaya konyol.
Siapa Yang Intoleransi?
Natal
merupakan perayaan yang seharusnya dikhususkan hanya untuk kaum-kaum Kristen
namun berbeda dengan Indonesia. Berkat budaya latah serta pemikiran-pemikiran
‘nyeleneh’ dari segelintir orang maka Natal pun diopinikan sebagai sebuah
ritual bersama bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa melihat ia seorang yang
beragama Kristen atau tidak. Termasuk walaupun ia adalah seorang muslim.
Di satu kesempatan Nafsiah Mboy,
Ketua Panitia Perayaan Natal Nasional sekaligus Menteri Kesehatan Indonesia
usai bertemu dengan Presiden SBY, ia menyatakan bahwa Presiden SBY dan Wapres
Budiono akan turut menghadiri perayaan puncak Natal Nasional yang akan diselenggarakan
pada tanggal 27 Desember nanti. Mboy juga menyatakan bahwa presiden berharap
penyelenggaraan puncak perayaan Natal 2012 ini bersifat inklusif, dan dapat
dirasakan semua pihak, tidak hanya umat Kristiani. (antaranews.com, 7/12)
Pada kesempatan lain, mantan wakil
presiden Jusuf Kalla yang notabene juga adalah seorang muslim menyampaikan
dengan jelas ucapan selamat Natalnya pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur
(NTT). Pernyataan ini diucapkan bersamaan dengan kunjungannya ke NTT, yang
mayoritas penduduknya beragama Katolik. (voa-islam.com, 21/12)
Entah karena ketidak tahuan atau
kesengajaan yang sengaja dilakukan dengan berbagai tujuan politisnya. Yang
pasti bisa mengedukasi pendangkalan aqidah umat muslim. Bagaimana tidak ?
Melihat bagaimana ritual natal ini dijadikan sebagai sebuah ritual bersama yang
bahkan dianjurkan sekali untuk juga dilakukan oleh umat muslim, minimal sekedar
mengucapkan selamat natal dengan dalih toleransi, pluralism dan bahasa
manipulative lainnya.
Bagi pemeluk beragam Kristen sah-sah
saja merayakan Hari Natal ini. Tapi mempromosikan perayaan ini sedemikian rupa
kemudian memberlakukannya untuk dan agar diikuti oleh semua rakyat Indonesia
baik ia beragama Kristen atau bukan. Hakikatnya ini adalah tindakan intoleransi
terhadap umat muslim. Kita lihat saja fakta di super market dan mall-mall serta
pusat perbelanjaan lainnya yang tentu saja mayoritas pengunjungnya adalah umat
muslim kemudian disuguhkan dengan lagu-lagu rohani umat Kristen terus menerus.
Bahkan karyawan-karyawan sampai satpam tempat-tempat tadi yang mayoritas bahkan
kita yakin ia beragama Islam, mereka diharuskan untuk memakai atribut Natal
seperti topi Santa Claus, bajunya, dan lainnya.
Umat muslim pun diseru untuk
mengucapkan selamat Natal bahkan bila perlu juga ikut merayakan dan
memfasilitasi perayaannya. Ya, semua itu di bungkus dengan pujian menyesatkan
bahwa umat muslim adalah umat yang tingkat toleransinya tinggi serta
benar-benar nyata ikut berperan penting dalam menjaga kerukunan antar umat
beragama. Konyolnya lagi jika umat muslim tidak melakukannya maka cap anti
non-muslim, dan intoleran pun dilekatkan dengan sangat kuat.
Islam Menjaga Aqidah Umat Islam dan
Menghargai Non Muslim
Dalam sebuah dialog menarik yang
tersebar di berbagai situs internet serta jejaring sosial, ada pelajaran yang
sangat baik pada dialog ini. Berikut cuplikannya :
Muslim
: Bagaimana Natalmu?
David
: Baik, kau tidak mengucapkan Selamat Natal padaku? …..
Muslim
: Tidak, agama kami menghargai toleransi antar agama, termasuk agamamu,
tapi masalah ini, agama saya melarangnya.
David
: Tapi kenapa, bukankah hanya sekedar kata-kata? Teman muslimku yang lain
mengucapkannya padaku.
Muslim
: Mungkin mereka belum mengetahuinya. David, kau bisa mengucapkan “Dua
kalimat syahadat”?
David
: Oh tidak, saya tidak bisa mengucapkannya. Itu akan mengganggu
kepercayaan saya.
Muslim
: Kenapa? Bukankah hanya kata-kata? Ayo, ucapkanlah.
David
: Sekarang, saya mengerti.
Dialog ini menggambarkan dengan
sangat baik kepada kita tentang hubungan antara muslim dan non-muslim,
khususnya berkaitan dengan Hari Natal ini. Logika yang sederhana namun cerdas
cukup menggambarkan kepada kita bagaimana seharusnya hubungan antara kedua umat
yang berbeda keyakinan ini.Sementara hari ini banyak orang yang dianggap
“tokoh” masyarakat level Nasional/Lokal dari kalangan muslim karena sebab
kebodohannya tampil sok humanis, pluralis, wisdom, menjadi pahlawan, pemimpin
hebat kemudian mengucapkan “selamat natal” kepada umat kristiani tanpa disadari
hal tersebut telah merusak akidah dirinya dan umat Islam.Tentu ini menabrak
tuntunan Allah swt dan RasulNya.Sosok muslim yang kehilangan jati diri, “muslim
KTP” yang eksis terlepas dari pakem dan manhaj hidup yang digariskan Rasulullah
SAW.
Setidaknya ada 4 (empat) alasan
mengapa aturan Islam melarang umatnya untuk mengucapkan selamat natal apalagi
ikut merayakannya :
Pertama, Hari Natal bukanlah
perayaan kaum Muslim.
Rasulullah telah menjelaskan dengan
sangat tegas bahwasanya perayaan bagi Kaum Muslim hanya ada 2, yakni ketika
Idul Fitri dan juga Idul Adha. Anas bin Malik RA berkata : “Ketika Rasulullah
datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk
bersenang-senang dan bermain-main di masa Jahiliyah. Maka beliau berkata :
Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah
yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang
lebih baik bagi kalian yaitu hari raya kurban (Idul Adha) dan hari raya Idul
Fitri. (HR. Ahmad)
Telah jelas disampaikan oleh
Rasulullah bahwa bagi umat muslim yang mengaku dirinya muslim dan beriman
kepada Allah dan RasulNya maka baginya hanya ada dua hari perayaan besar
disepanjang tahun. Tentu sebagai muslim yang taat, cukuplah petunjuk Nabi
Muhammad Saw menjadi sebaik-baiknya petunjuk dan hanya itu yang kita jadikan
panutan, dan cukuplah hanya yang berasal dari Allah dan RasulNya.
Kedua, mengucapkan Selamat Natal dan
ikut merayakannya bahkan memfasilitasinya saja sama dengan menyetujui kekufuran
orang-orang yang merayakan natal.
Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, “selamat” artinya terhindar dari bencana, aman sentosa; sejahtera
tidak kurang suatu apa; sehat; tidak mendapat gangguan, kerusakan dsb;
beruntung; tercapai maksudnya; tidak gagal. Dengan begitu ucapan selamat
artinya adalah doa (ucapan, pernyataan, dsb) yang mengandung harapan supaya
sejahtera, tidak kurang suatu apa, beruntung, tercapai maksudnya, dsb.
Natal adalah sebuah perayaan
kelahiran Yesus Kristus (Nabi Isa al-Masih as) yang dalam pandangan umat
Kristen saat ini ia adalah anak Tuhan dan Tuhan anak serta meyakini ajaran
Trinitas. Lalu bagaimana bisa seorang muslim yang bertolak belakang dan jelas
berbeda pemahamannya mengenai Nabi Isa mendoakan kaum Kristen keselamatan atas
apa yang mereka pahami tadi? Padahal dengan sangat jelas Allah menyatakan
mereka sebagai orang kafir (QS. Al-Maidah : 72-75) yang tentu di akhirat kelak
akan dijatuhi hukuman neraka nan pedih.
Umat Islam meyakini bahwa Nabi Isa
adalah utusan Allah ke dunia, bukan anak apalagi Tuhan. Karena Demi Allah,
Allah SWT tidaklah diperanakkan dan tidak beranak, ia Maha Esa dan Maha Kuasa,
tak ada satupun yang mampu menandinginya bahkan tiada yang pantas untuk sekedar
disamakan denganNya. Mengucapkan selamat Natal dan bahkan ikut merayakannya
sama saja dengan mengakui apa yang dipahami oleh umat Kristen, dan sudah tentu
itu adalah sebuah tindak kekufuran yang nyata yang bisa membuat pelakunya jatuh
kepada kekafiran.
Ketiga, merupakan sikap loyal (wala)
yang salah dan keliru.
Loyal tidaklah sama dengan berbuat baik. Wala memiliki arti loyal,
menolong, atau memuliakan orang yang kita cintai, sehingga apabila kita wala
terhadap seseorang, akan tumbuh rasa cinta kepada orang tersebut. Oleh karena
itulah, kekasih-kekasih Allah disebut pula sebagai wali-wali Allah.
Ketika kita mengucapkan selamat
Natal, hal itu tentu dapat menumbuhkan rasa cinta kita perlahan-lahan kepada
mereka. Mungkin sebagian kita mengingkari, yang diucapkan hanya sekedar lisan
saja. Namun, seorang muslim secara tegas diperintahkan untuk mengingkari
sesembahan-sesembahan orang kafir (QS. Al-Mumtahanah : 4). Bahkan Rasulullah
pun dengan jelas mencontohkan kepada kita bagaimana Rasulullah dengan tegas
mengingkari patung-patung sesembahan orang-orang kafir jahiliyah dan menghina
sesembahan mereka serta menyampaikan bahwa yang patut disembah hanyalah Allah
SWT dan Dia tidak perlu suatu perantara apapun.
Keempat, aktivitas mengucapkan
Selamat Natal dan ikut merayakannya atau sekedar memfasilitasinya adalah
aktivitas menyerupai orang kafir.
Tentu bukan sesuatu yang aneh lagi jika pada
faktanya ada sebagian muslim yang ternyata turut berpartisipasi dalam perayaan
natal. Ketika di pasar-pasar, super market, mall-mall dan pusat perbelanjaan
lainnya ada sebagian kaum muslim yang berpakaian dengan pakaian khas perayaan
natal. Padahal Rasulullah Saw dengan tegas telah melarang kaum muslim untuk
menyerupai kaum kafir. Sabda Rasulullah Saw : “ Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud)
Alasan terpaksa karena pekerjaan
atau takut dipecat menjadi alasan klasik yang kerap kali menjadi pembenaran
untuk sebagian kaum muslim demi melakukan aktivitas menyerupai kaum kafir tadi.
Padahal pekerjaan dan dipecat tidak ada hubungannya dengan rezeki yang Allah
berikan, hal tersebut adalah sesuatu yang berbeda. Justru apakah demi segepok
uang kita rela menggadaikan aqidah kita hingga kemudian kehilangan tempat di
surga dan masuk ke neraka Allah SWT yang siksanya luar biasa pedih. Tidak
adakah rasa takut terhadap hal tersebut hingga berani menggadaikan aqidah kita?
Sesungguhnya Allah pasti akan mempermudah jalan hambaNya yang berusaha sekuat
tenaga untuk taat pada aturanNya, termasuk mempermudah rezekinya.
Inilah alasan-alasan mengapa Natal
tidak boleh ikut dirayakan oleh Kaum Muslim atau sekedar mengucapkannya. Walau
begitu, bukan berarti Islam tidak toleran terhadap agama yang lain. Islam
melakukan sebuah tindakan penjagaan aqidah umatnya yang memang menjadi ruh dan
pondasi dari agama itu sendiri, dan kepada umat non-muslim yang lain, aturan
Islam adalah aturan yang paling toleran dan tentunya menghargai perbedaan antar
keyakinan beragama.
Islam tidak akan pernah memaksakan
keyakinannya kepada pemeluk agama lain, bahkan sekedar mengganggunya. Karena
sesungguhnya tidak ada paksaan untuk masuk pada Islam dan meyakininya. Bahkan
dalam sistem negara islam yakni Khilafah Islamiyah yang menerapkan aturan Islam
secara menyeluruh, mereka-mereka yang beragama selain Islam menerima perlakuan
yang baik dan penghargaan yang luar biasa. Diperbolehkan bagi mereka
melaksanakan keyakinan beragama mereka tanpa ada gangguan sedikitpun
tentunya dengan aturan tertentu, dan sekali lagi tidak ada paksaan bagi mereka
untuk masuk pada Islam bahkan walau mereka berada di tengah-tengah negeri yang
menerapkan aturan Islam, Islam tidak akan pernah mengganggu mereka
termasuk dalam perkara aqidah mereka. Karena itu Islam adalah agama yang
toleran dan paling menghargai kepada agama selain Islam, namun tentu menolak
pemahaman Pluralisme dan Sinkretisme yang merupakan satu pemahaman sesat dan
tak layak diterima. Wallahu a’lam bi ash shawab.
Sumber : http://www.eramuslim.com/berita/analisa/natal-intoleransi-dan-budaya-konyol-di-indonesia.htm
No comments:
Post a Comment