CATATAN PINGGIR SANG
USTADZ
(CINTA YANG TERGADAI)
Betapa hari itu berganti dengan semangat
cahaya mentari yang tidak pernah lelah. Waktu pun menjadi sebuah keharusan
untuk terus berjalan perlahan tapi mantap. Maka pada saatnya akan menjadi nyata
bahwa hidup adalah sebuah pilihan, dan sebuah keharusan yang mesti kita hadapi.
Siang itu aku terbangun dari mimpi indahku.
Tentang kehidupan yang pasti. Tentang kebahagiaan yang berlalu lalang dalam
anganku. Pikiranku bagaikan terbang menyebrangi lautan. Di antara debur ombak
di pantai. Diantara lambaian nyiur yang tersisir angin laut.
Di sebuah madrasah aku telah menjadi sosok
seorang ustadz. Mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Dari tauhid, fiqih,
akhlaq, nahwu, shorrof, bahkan matematika, ipa, ips, dan bahasa inggris.
Madrasah tempatku mengajar tidak terlalu
besar. Hanya dua buah bangunan berlantai semen, yang satu membujur ke utara dan
selatan, dua ruang ditempati kelas 5 dan 6. Yang satunya lagi membujur ke barat
dan timur, dua ruangan juga dengan lantai semen yang lumayan tidak berdebu
karena agak baru. Di antara dua ruangan itu ada satu ruang kecil, yang didaulat
jadi ruang kantor. Sebuah tempat lembaga pendidikan yang benar benar bersahaja.
Di sekitar bangunan madrasah tersebut banyak pohon kelapa yang tinggi
menjulang, dengan buah lebat dan hijau. Menambah suasana 'ger sereng' yang
semakin nampak nyata.
Mengajar, sebuah rutinitis yang aku jalani.
Tapi dengan senang hati. Dengan hanya berharap ridha dari Allah swt. Mengajar
adalah sudah menjadi bagian dari hidupku. Sejak aku lulus dari bangku SMP, aku
sudah disuruh mengajar oleh pamanku. Maklum yang punya madrasah kala itu juga
pamanku sendiri. Ditambah lagi anak sang paman, sepupuku, menjadi tunanganku
saat itu. Jadinya, segalanya sangat mudah untuk sekedar menjadi ustadz di
madrasah itu. Tapi, kemampuanku juga bisa dibilang lumayan, agar tidak terkesan
sombong jika dikatakan cukup baik.
Ombak masih cukup keras menghantam pembatas
pantai. Maklum, tempatku bermalam adalah rumah kasek yang letaknya cukup dekat
dengan pantai. Bukan hanya dekat, tapi bersentuhan langsung dengan bibir
pantai. Lokasi yang demikian kerap kali menjadikan inspirasi untuk sekedar
corat-coret agenda. Aku juga sering tulis-tulis puisi. Meski tidak menjadi
profesiku, namun terkadang orat-oret itu dapat menghilangkan kejenuhan.
Malam itu malam Minggu. Aku tidak mempunyai
persiapan untuk masuk sekolah esok. Karena hari minggu sekolahku libur. Tiba2
di depan pintu kamar kosku ada sosok yang mengucap salam. Serta merta kujawab
salam itu.
''wa'alaukm salam'' jawabku.
Tidak terlalu lama aku harus berpikir siapa
yang datang. Karena dia adalah muridku juga di madrasah.
Sosoknya anggun. Tidak urakan, apalagi play
girl. Cantik dan tentu saja rajin dan pintar. Semua guru memaklumi, siapa dia sebenarnya,
sosok siswi yang tidak pernah berulah, patuh dan taat kepada guru.
'' Iin, dengan siapa?'' tanyaku
berbasa-basi. Maklum anak PP tidak familiar dengan tamu cewek, eh gadis.
''Sendiri aja. Wong rumah saya dekat kok di
sebelah ini'' jelasnya sambil kembang senyum dari bibirnya.
Begitu dia menunjuk rumahnya, sambil
mendongakkan kepalanya. Tentu saja lehar jenjangnya kelihatan dan kilau putih
menyilaukan pandanganku yang sedikit dikenai cahaya lampu.
Akhirnya kami pun ngobrol. Tak ada kata
yang khusus dalam obrolan kami. Tapi dia membawa rantang yang tersusun dua. Di
lain itu ada bungkusan plastik hitam entah berisi apa? Tanpa basa-basi
diletakkan semua bawaannya di sebelahku. Aku paham. Itu berarti untukku.
Malam itu, setelah dia pulang dan aku mulai
tidur, aku bermimpi indah sekali. Benih-benih cinta? Entahlah,... Dan rantang
itu ternyata berisi soto, makanan favoritku, ditambah lagi degan kerupuk udang,
menjadi lengkaplah makan malamku kala itu.
Seiring berjalannya waktu, hubunganku pun
berlanjut. Bahkan sampai-sampai saling berkirim surat. Tentu isinya tidak perlu
dipertanyakan lagi. Tentang cinta. Ya, tentang cinta, rindu, asmara, dan
masa-masa indah yang akan datang.
Tentu saja, rantang-rantang berikutnya
terus berdatangan dengan beragam makanan yang super enak. Hal yang demikian
juga kurang direstui oleh ibu kosku. Soalnya, aku jadi sering tidak makan yang
telah dipersiapkan oleh ibu kosku. Tapi yang namanya pemberian, tentu saja
tidak boleh ditolak. Lebih-lebih lagi pemberian itu dari seseorang yang
tersimpan di lubuk hati yang paling dalam.
Sebenarnya ibu kosku melarang hubunganku
dengan Iin (bukan nama sebenarnya). Karena, ibu kosku tahu bahwa aku telah
bertunangan dengan sepupuku. Tapi aku katakan pada ibu kosku (ibu kosku ini
sudah menganggap aku sebagai anaknya sendiri, sampai saat ini) bahwa hubunganku
tidak lebih dari hubungan antara guru dan murid. Ibu kosku hanya bilang,
''Awas, hati-hati'' nasihatnya sambil
tertawa mencibir. Beliau tidak percaya dengan alasanku.
Hari-hariku kian indah. Di madrasah
seringkali kucuri pandang untuk menyelami cantik raut wajah Iin. Dan tentu
saja, Iin seringkali salah tingkah ketika pandangan sayu matanya beradu pandang
dengan mataku. Serta merta jika itu terjadi, senyum akan mengembang, bahkan kadang
disusul dengan sedikit tawa. Dan senyum Iin telah menjadikan hari-hariku
terbang ke alam hayal. Cinta monyetkah? Aku masih sangat muda saat itu, apalagi
Iin, baru belasan tahun umurnya.
Melahirkan sebuah kenangan dengan sang
kekasih adalah menjadi sebuah harapan. Dan satu2nya kenangan yang tidak mungkin
aku lupakan adalah pada saat aku dan Iin berfoto bersama. Entah bagaimana
caranya, ketika aku bermain ke rumah Iin, di sana sudah ada tukang foto.
Jadinya, hamparan pasir putih pantai di belakang rumahnya menjadi panorama
indah sebagai latar foto kita berdua. Sebuah kenangan yang tak mungkin kita
lupakan.
Dan satu lagi kenangan yang sulit
terlupakan, saat aku juga berkunjung ke rumah Iin. Dia lagi tertidur saat itu.
Dan aku membangunkannya, kupegang tangannya yang halus dan putih. Aku
goyang-goyangkan, dan Iin pun terbangun, tersenyum, dan langsung bangun sambul
berkata,
''Lhoo, ada Ustadz'' sambil tersenyum. Just
that I have done to her. Tidak lebih, suer aku dapat pastikan tidak lebih dari
hanya sekedar itu saja.
Sudah banyak yang kita bicarakan melalui
surat (saat itu belum ada HP). Tentang cinta (monyet?), tentang rindu
(monyet?), tentang apa saja yang bisa kita utarakan. Lewat surat, rindu
terbayarkan. Lewat surat, cinta menjadi harapan. Tapi, harus benar-benar
waspada, karena ibu kosku tetap tidak merestui. Dan kalau ketahuan orang rumah
bisa jadi malapetaka.
''In, besok Ustadz mau pulang''
''Mau pulang Ustadz?'' seperti tidak
percaya dengan apa yang Iin dengar.
''Iya mau pulang'' jawabku agak ragu dan
kelu.
''Kenapa Ustadz mau pulang? Tidak kembali
lagi?'' Iin semakin penasaran dalam keraguan.
Aku hanya mengangguk, dan air mata pun
tidak terbendung lagi. Dengan berkaca-kaca aku katakan bahwa aku harus pulang.
Madrasah di rumahku, punya paman, membutuhkan aku. Dan itu artinya pupus sudah
rajutan kasih yang selama ini kita bina.
Tetapi cinta memang tidak harus saling
memiliki. Sebesar apapun rasa itu, jika memang kita tidak ditakdirkan bersatu,
maka cepat atau lambat akan berakhir. Akhir sebuah kisah cinta ini, akan
menjadi ukiran prasasti kita hingga akhir kemudian. Dengan harapan, doa kita
tetap saling menyertai.
''Maafkan saya Ustadz'' kata Iin sambil
menarik tanganku dalam ciumnya. Sebuah keharuan yang luar biasa, antara dua
insan yang saling mengungkap rasa. Aku hanya mampu menatap langit yang kelabu.
Karena mendung menyiratkan keharuan akan suasana hati yang tenang dalam peluk
cium dua insan yang saling menyinta.
Buat Iin, jika sempat membaca kisah ini,
selamat berbahgia bersama pangeranmu.
No comments:
Post a Comment