SEIKAT CINTA MAWAR JINGGA
Seluas mata memandang, taman bunga itu
penuh dengan aneka warna. Merah, kuning, hijau, jingga, dan pink. Warna
memantulkan gelora rindu. Rindu pada sosok bidadari yang selalu merbakkan
wewangi nirwana. Pagi di sebuah taman bunga. Titik embun memantulkan sinar
mutiara. Di taman ini, beberapa waktu yang lalu.
***
"Mas, aku suka mawar jingga itu,"
kata Jeny di suatu senja.
"Mawar yang mana?" Aku
mendekatkan kepalaku ke kepala Jeny. Aku pura-pura tidak tahu.
"Itu tuh. Dekat bunga mentari,"
Jeny memastikan penglihatanku.
"Oh, mawar yang itu. Memang
indah," jawabku. "Seindah wajah di sampingku," lanjutku.
"Ihhh,..bohong!" Jeny tersipu
sambil mencubit mesra lenganku. Aku merasakan wangi surga. Sungguh kebersamaan
yang terikat laksa bunga cinta.
Berlalu sang waktu. Pesonanya masih terus
mekarkan kembang rindu. Rindu pada gelimis wajah Jeny. Rindu pada suaranya.
Rindu pada wangi tubuhnya. Jeny telah membirukan arti cinta yang sesungguhnya.
Dialah mentari hidupku. Rembulam di gelap malamku. Dia pesona kasih luapan
rindu, abadi di detak relung nadiku.
"Semoga cinta ini abadi," desahku
pada Jeny di sore itu. Awan senja meronakan merah saga. Membentuk keping siluet
cinta di ufuk jingga.
"Bukankah cinta kita suci?"
Retorik Jeny menjawab keluku.
"Aku tidak meragukan kesucian cinta
kita," jawabku.
"Lalu?" Jeny mencoba menyelami
arah pikirku.
"Waktu yang akan menjelaskan
semuanya," desahku di antara keraguan kalimatku. Jeny terdiam. Senyum
mawarnya terkembang. Seindah pelangi di batas cakrawala.
Pada saat itu, seseorang sedang
memperhatikanku. Sepasang mata sinis --dalam penglihatanku-- menguak sinar mata
tajam. "Ada apa gerangan?" Pikirku saat itu. Tapi aku tidak peduli.
***
Pagi begitu cerah. Betapa nostalgia itu
tidak bisa hilang begitu saja. Saat kamilau rindu, bertahta di antara gelora
bunga-bunga rindu. Ya, di taman itu, di antara bunga-bunga yang bermekaran, aku
dan Jeny mengikat janji. Menjaga kerahasiaan hati masing-masing. Bahwa cinta
kita satu untuk selamanya.
Hari 10 November. Aku ingin memberikan
hadiah ulang tahun untuk Jeny. Hari ulang tahun Jeny yang juga bertepatan
dengan hari pahlawan, ingin aku memberikan kado spesial untuknya. Untuk cinta.
Untuk rindu. Untuk kesucian asmaradana.
Dari taman bunga ini, aku petik bunga
terindah. Bunga mawar berwarna jingga, kesukaan Jeny. Aku memetiknya sepenuh
hati. Sepenuh cintaku untuknya. Untuk rindu dan cinta, selamanya.
Tergesa aku pergi ke rumah Jeny. Dengan
sekuntum mawar jingga. Semerbak harum, yang baru kupetik dari taman bunga. Dari
lubuk hati yang terdalam.
"Aku rindu mekar bunga mawar
ini," suatu hari Jeny berkata padaku. Di taman itu.
"Tunggulah. Sebentar lagi bunga ini
akan merekah," jawabku.
"Serekah cinta kita," bisiknya
lagi.
"Ya, serekah cinta kita. Abadi untuk
selamanya."
"Engkaulah pangeran surgaku,"
Jeny berkata dengan suara rindu.
"Dan Engkau adalah bunga taman
surgaku," jawabku dengan getar suara menahan derai air mata. Haru.
***
Seikat mawar jingga kubawa dengan sepenuh
rindu. Harum, semerbak, bak pahlawan yang gugur membela pertiwi.
Aku tiba di depan rumah Jeny. Tapi hatiku
bergetar, kala kulihat banyak orang berlalu lalang di rumahnya. Wajah-wajah
sendu, mendung, meneteskan air mata. Dan benar saja, Jeny telah berpulang ke
hadapan Ilahi.
Innalillahi wainna ilaihi roji'un, kami
milik Allah dan kepada-Nyalah kami akan kembali.
Lemas sudah hasratku. Lunglailah asa dan
harapanku. Seikat bunga mawar jingga yang kubawa, terlepas dari genggamanku.
Terhempas oleh ganasnya sang waktu, berserak di antara debu-debu kehidupan.
"Cintaku, mengapa Kau tinggalkan
aku," jeritku di samping jenazah Jeny. Kulihat ia tersenyum, damai dalam
tidur panjangnya. Air mataku merebah. Menganak sungai, membanjir oleh cinta
yang tak kesampaian. Aku meletakkan sisa bunga mawar jingga yang sudah kusut.
Di telapak tangan Jeny yang beku. Senyumnya --sepertinya kulihat-- semakin
mengembang.
***
Taman bunga ini adalah saksi bisu. Tentang
cinta. Makna rindu yang sebenarnya. Aroma cinta Jeny masih mengembang, berbaur
dengan harum merbak bunga-bunga setaman.
Jeny meninggal karena kecelakaan. Tubuhnya
terpental dan masuk ke dalam jurang, curam, sedalam tujuh meter. Di TKP, nafas
Jeny pun melayang. Tak rertolong, meski tak ada luka sedikit pun di sekujur
tubuhnya. Allah lebih cinta, dan mengambil Jeny segera. Semoga Jeny bahagia di
sana.
Dari olah TKP, Jeny meninggal secara tidak
wajar. Ada indikasi kesengajaan. Ada seseorang yang sengaja untuk
mencelakakannya.
"Benarkah?" Kata hatiku tidak
percaya. "Salah apa Jeny hingga ada yang sengaja mencelakainya?" Masih
dalam tanya tak percaya.
Tiba-tiba ingatanku melayang. Menjamah
kejadian beberapa waktu yang lalu. Sesosok tubuh dengan sinar mata sinis.
Seakan tiada rela bila aku dan Jeny memadu asmara.
"Mengapa Jeny yang menjadi
korban?" Aku mencoba menghilangkan bayang-bayang sangka burukku. Aku
berharap, "Semoga itu tidak terjadi," aku petik sekuntum bunga mawar
jingga. Tiba-tiba merbaknya seharum tubuh Jeny yang damai dalam tidur
panjangnya. Di taman surga.
Sumenep, 13 Februari 2014
No comments:
Post a Comment