PANTAI CEMARA
Senja di pantai
cemara. Sebuah pantai indah yang ada di pulau Masalembu. Pulau kecil dengan
keindahan alamnya yang masih asri. Bakau dan pohon cemara berjejer menghiasi
bibir pantai. Pasir
putih berkilau diterpa sinar mentari senja. Bagai panorama di negeri impian.
Tentang sebuah cinta. Bermuara di taman surga.
"Mas, ayo
kita ke sana", ajak Fatim katika aku dan dia menghabiskan waktu sunset
pada suatu senja.
"Boleh, ke
mana sih?" jawabku sambil melihat sebuah tempat yang ditunjuk Fatim.
Senja itu aku dan
Fatim menuju tempat yang begitu mempesona. Entahlah, apa yang membuat kami
begitu sumbringah. Karena tempat yang indah ataukah karena pesona cinta kami
berdua. Hidup sungguh begitu indah.
Nyiur
melambai di tepi pantai. Di antara desiran angin senja yang lembut. Selembut
hati kami berdua. Berkata tanpa bicara. Berbicara tanpa bahasa. Ungkapan
perasaan yang begitu dalam maknanya. Menebarkan semerbak kasturi rindu. Dan
alur bahasa pun merenda sebentuk karang yang tegar. Biar pun dihantam badai.
"Mas, coba
lihat awan mega di sebelah sana", Fatim menunjuk ke arah awan mega merah
saga. Ada rias sinar emas oleh bias sinar mentari. Sungguh sangat romantis.
"Oh iya ya,
sungguh senja yang begitu mempesona", sahutku.
"Bukan hanya
pesonanya Mas. Coba perhatikan lebih saksama. Tuh kan membentuk love",
Fatim semakin memicingkan matanya yang bening. Aku pun mencoba memperhatikan
lebih baik. Dan ternyata benar, ada sebentuk awan mega yang menggambarkan cinta
kita berdua. Dan
jauh di dalam mata Fatim, juga terbentuk pelangi cinta.
Tidak berapa lama
dari seluit kata hati yang penuh dengan bunga cinta, dan senyuman yang bertabur
nostagia, tiba-tiba dari arah tengah laut menggulung ombak laksana gunung yang
menjulang. Dan dalam hitungan detik ombak besar itu menghantan aku dan Fatim.
Aku pun terpental. Pegangan tangan pun lepas. Dan aku pun sudah tidak ingat
apa-apa lagi.
Binar-binar
cinta lepas. Kandas di ujung senja. Gelap. Di sekeliling begitu kelam. Tak
nampak siapa-siapa. Fatim pun hilang entah kemana. Aku menangis. Sendiri di
atas gelombang. Terpekur di antara badai. Aku hilang ingatan. Dan gelap kembali
menyergab.
Hingga kudengar
suara, yang kusangka suara kematian.
"Rus...Rus..
Bangun sudah sore!". Ternyata suara temanku,
Dika. Ia membangunkanku yang lagi tertidur di bawah
pohon cemara yang rindang di tepian pantai Cemara di
Masalembu. Perlahan
aku bangkit. Sambil mendesah,
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Oh, ternyata aku hanya mimpi.
Fatim...Fatim...!".
Melangkah
perlahan-lahan. Meninggalkan jejak dan sisa-sisa mimpiku. Aku berharap, Fatim
masih setia dalam penantian. Sebagaimana aku juga masih setia dalam penantian
yang panjang. Bukan di alam mimpi. Tapi di alam nyata.
Sumenep, 13 Februari 2014
No comments:
Post a Comment