PENDAKI YANG GAGAL
Hari Rabu, 26
Februari 2014. Ya hari ini, sekitar jam 13.30, aku beserta
rombongan berangkat dari lokasi SMPN 1 Masalembu, menuju gunung Masalembu.
Mendaki. Ya, ada kegiatan mendaki gunung, sebagai latihan untuk menaklukkan
Gunung Arjuno di
Pasuruan Jawa Timur. Latihan ini sudah dilakukan beberapa kali oleh
peserta Lintas Alam. Anggota Pramuka SMPN 1 Masalembu.
Beberapa hari
sebelumnya, pendakian ini sudah direncanakan. Hal yang tidak lazim adalah, aku
merupakan anggota baru, yang baru
pertama kali ikut, dalam kegiatan jelajah alam ini. Selain aku, Bapak Sulaiman
Fajar juga merupakan anggota anyar, yang beru mencoba untuk turut serta dalam
kegiatan Gudep Pramuka Tamphomas 2.
Kami serombongan,
berjumlah 13 orang berangkat menggunakan motor. Setelah
sampai di kaki bukit, kami pun meletakkan motor dan bersiap-siap memulai
pendakian. Rombongan dipimpin oleh Bapak Maru'ei, aktifis pramuka yang
berpengalaman di pendakian berbagai tempat yang lebih menantang.
Dalam hal
persiapan, aku sepertinya yang paling ‘gawat’. Dengan tas ransel hitam di
punggung, sepatu anyar, serta memakai topi. Di dalam ransel aku membawa dua
botol air aqua. Juga ada hasduk, sarung, sajadah, dan sebungkus nasi. Tidak lupa
juga headset untuk hiburan, dan buka
agenda serta bolpen. Rencanya, aku akan menulis dari puncak gunung, sambil
menikmati pemandangan yang tentu saja sangat indah.
Di kaki bukit,
kami berdoa, semoga dalam pendakian tidak ada kendala. Jalan terjal pun kami
lewati. Kami, para pendaki, dengan semangat 45, menjejakkan kaki dengan mantap
dan tanpa ragu. Mereka sudah beberapa kali latihan. Nampak sekali kalau mereka
begitu bugar. Tidak nampak lelah di wajah mereka. Sementara, aku sudah aempor(lesso ta’ kowat). Tenaga sudah terkuras. Padahal baru
beberapa meter saja. Duh,...aku lelah. Capek. Tak bertenaga. Bahkan dalam
benakku, rasanya aku sudah mau mati. Ya Allah,...
Dalam kepanikan
yang luar biasa, aku sudah membayangkan sebuah kematian. Pohon-pohon di
sekeliling terasa berputar-putar. Bumi serasa bergoyong. "Aku dalam
sakratul maut," jerit hatiku.
Untung saja Pak
Satimin paham akan kondisiku. Ketika kukatakan kalau aku serasa mau mati, ia
berkata tegas padaku.
"Gak mungkin.
Ayo kuantar turun aja!" Kata Pak Satimin padaku.
Aku menarik napas
panjang. Serasa dadaku mau pecah. Maklum, tidak biasa olah raga. Langsung turun
ke medan yang cukup menantang. Setelah beberapa lama mengatur napas, aku
mencoba berdiri. Kakiku bergetar. Serasa tidak menjejak bumi. Bayang kematian
kembali datang di pelupuk mataku.
Rencananya, aku
akan diantar turun oleh Pak Maru'ei, berdua dengan Pak Satimin. Tapi aku
menolak. Kasihan kalau anak-anak ditinggal. Lagi pula di sana ada Pak Sulaiman
Fajar yang tidak berpengalaman. Maka aku katakan, biar Pak Satimin seorang yang
mengantar. Daripada aku pulang sendiri, tapi kemudian aku sudah diketemukan
menjadi mayat. Na'udzu billah!
Frizki, Zaqila,
Rita, Ude, dan I'ik,--semuanya perempuan-- dengan
semangat yang menyala, terus dan terus menapaki langkah demi langkah bukit
terjal yang ada di hadapan mereka. Mereka sudah terbiasa. Itulah hikmah di
balik latihan yang maksimal. Begitu juga dengan anggota pria. Leo, Hasbullah,
Robby, dan Iyung, tanpa kenal menyerah terus melangkah membelah semak di lereng
bukit yang curam. Sungguh, aku bangga dengan mereka!
Sementara, aku keok. Gagal dalam pendakian kali ini.
Sebenarnya aku menyesal. Mengapa aku harus gagal. Tetapi, memang tidak boleh
dipaksakan. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Satimin, yang dengan didikasinya
mengantarkan aku kembali ke kaki bukit, posko tempat kami memulai pendakian.
"Aku gagal," desisku dalam perjalanan pulang dengan rasa sesal yang
remuk.
"Jangan
dipaksakan. Tapi, jangan berputus asa!" Pak Satimin mewanti-wanti, bagai hiburan
kepada seorang anak kecil yang kalah dalam perang-perangan. Hehee,...
Masihkah aku bisa
kembali mendaki di lain waktu? Sementara aku sudah gagal dalam pendakian kali
ini? Meski begitu, aku bertekat bahwa, suatu saat nanti, gunung Masalembu yang
hanya 'sejengkal' itu harus kutaklukkan.
Sendiri, aku
menunggu di kaki bukit. Sungguh sebuah penantian yang mengecewakan. Aku gagal.
Sementara mereka terus membelah gunung, menerjang bukit, dan menelusuri semak.
Tentu diselingi dengan gurauan, gelak tawa, dan nyanyi riang hati yang terus
berkumandang. "Ya Allah, serasa umurku sudah tidak berguna lagi. Padahal,
aku ingin hidup seribu tahun lagi."
Kisah dari sebuah cerita.
Berikut ini adalah
cerita dari sebuah kisah. Jam 16.30 sore
mereka sudah datang. Wajah-wajah lelah tapi sumbringah nampak di depan mataku.
Aku duduk di posko. Mereka pun larut dalam kisah dramatis pada pendakian mereka
kali ini.
Bagaimana saat
mereka menuruni tebing yang curam. Menerabas semak, berduri, dan berbatu-batu.
Dengan keberaniannya yang luar biasa, mereka mampu menembus curamnya bukit,
rimbunnya rebus, dan tingginya
tebing.
Tentu saja aku
kecewa. Hanya mendengarkan saja kisah-kisah yang mendebarkan. Bahkan, Pak
Sulaiman Fajar harus dibantu pakai tambang untuk menuruni suatu tebing yang
curam. Dalam.hati aku berkata, "Betapa sebuah pengalaman yang tidak
mungkin terlupakan." Aku ingin melaluinya. Ingin menikmatinya. Betapa
keinginan ini menghantam hatiku. Tapi, bisakah?
Sekitar jam 17.00
kami tiba di sekolah. Semua nampak lega. Meski lelah, mereka nampak bahagia.
Gembira. Aku juga turut bahagia, meski aku gagal dalam pendakian perdana ini.
Selepas Maghrib,
setelah baca Alquran aku bergumam,"Alhamdulillahi
Robbil 'alamin." Aku masih bisa bernapas, sehat tak kurang suatu apa
pun. Tekatku, suatu saat Gunung Masalembu, pasti aku taklukkan.
"Ternyata aku
masih hidup. Terima kasih ya Allah!"
***
Anggota pendaki
(Rabu, 26022014):
Maru'ri, Satimin,
Sulaiman Fajar, Leonardo Ismi S., Robby Herman M., Hasbullah, Khairul Anam,
Friski Layanti, Ega Desty, Nur Hasanah, Zaqilah, Rio
Rita, dan Rusdi El Umar (reporter)
No comments:
Post a Comment